“Oh… anak FLP.” Saya tidak tahu
pasti makna kata ‘oh’ yang kerap dilontarkan saat saya memperkenalkan diri. Prediksi
saya, mereka akan memuat label, “penulis cerpen islami.” Sesekali saya eneg dengan label tersebut. Faktanya
belum ada satupun karya saya bergenre cerpen yang masuk deretan cerpen ‘bestseller’. Bestseller versi saya selain mendapat apresiasi dari banyak pembaca, juga berkualitas dan tentunya punya misi. Misi yang
meminjam istilah bunda Helvy Tiana Rosa sebagai sastra menggerakkan.
Cerpen saya masih di level cerpen
koran atau media online yang numpang lewat. Saya tidak menganggap itu berada di kelas dua. Tapi, sebagai penulis tentu ada cita-cita
melahirkan karya melegenda. Meski penulisnya telah tiada namun karyanya tetap
hidup. Sederhananya semisal Aku-nya Chairil Anwar. Maka, untuk cita-cita itu,
hingga detik sekarang saya masih harus terus berproses.
Nah, perihal ke-eneg-kan saya
terletak pada kata ‘cerpen’. Saya tidak ingin menutup diri tapi sepertinya passion
nulis saya bukan di cerpen. Sebagai perbandingan, saat harus menyalesaikan
sebuah cerpen maka diperlukan waktu tiga kali lipat dibanding
menyelesaikan opini atau essay. Ketika ada pilihan menulis, saya akan lebih memilih
menulis jurnalistik daripada fiksi. Saat mengikuti deretan lomba menulis mulai
dari yang berhadiah pulsa sepuluh ribuan hingga yang berhadiah jutaan, tulisan
artikel saya lebih sering menang dibanding cerpen. Dan yang paling spektakuler,
pada agenda diskusi karya FLP, hanya satu saja cerpen saya berjudul “Cokelat
Merapi” mendapat standing appluse dari suhu fiksi Azzura Dayana.
Jadi, kalau boleh saya mau teriak
pakai toa, “woy FLP itu gak mesti nulis cerpen.” Tapi buat apa juga, toh FLP
lahir dan besar dari cerpen. Barulah ketika di usia remajanya FLP mulai dikenal
dengan beragam karya anggotanya. Kini, ada begitu panjang nama untuk menyebut anggota FLP di jagat kepenulisan Indonesia, Alhamdulillah ya….
Trus saya dimana?
Hari itu, 8 Februari 2004. Saya dan
tiga orang sekampus nekad ikut acara launching dan bedah buku antologi cerpen
Sumbagsel berjudul “Ketika Nyamuk Bicara” di ponpes Raudhatul Ulum. Nekad
karena acara tersebut dilaksanakan dua hari di ponpes sementara kami baru dapat
dapat info H-1. Walhasil berangkat dengan tanpa pakaian ganti dan uang
seadanya.
Walau status kami adalah anak yang baru
mau lahir, kami sudah dianggap keluarga. Penulis di buku tersebut adalah
anggota FLP se-Sumbagsel meliputi Palembang, Lampung, dan Bengkulu. Hadir pula dari
pihak penerbit --yang juga anggota FLP-- teh Pipiet Senja. Rezekinya, kita yang
diberi tanggung jawab mengantar Si teteh dari ponpes hingga Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II. Kurang lebih dua jam setengah curhat asyik dengan penulis
senior berlogat Sunda tersebut, asyik!
Seusai acara penuh kenangan itu saya
mendaftarkan diri sebagai anggota FLP. Datang dan pergi teman serumah mulai saya alami. Iseng saya pernah berpikir, “kenapa kok saya betah
banget di FLP. Dari mulai unyu-unyu jadi mahasiswa, sibuk-sibuk jadi pekerja,
wagi-wangi saat baru nikah hingga sekarang sudah rempong gak beraturan ala
emak-emak, tetap setia di FLP?”
Jawabannya adalah… ternyata di FLP
tidak mengenal senioritas layaknya organisasi atau komunitas sastra kebanyakan.
Sejak awal masuk, saya tidak pernah dianggap sebagai junior dengan perlakukan
yang tidak adil. Pun saat sudah lumutan di FLP, saya (dan teman lainnya) tetap welcome
dengan anggota baru.
“Ini rumah kita. Kapanpun kalian
pulang akan ada pintu yang selalu terbuka,” demikian sambutan dari ketua FLP
tiap kali ada acara rekrutmen anggota. Sedihnya, penunggu setia rumah hanya
dua, tiga, atau lima orang saja. Selebihnya adalah puluhan
hingga ratusan nama tertulis di absen anggota.
Pilihan untuk berorganisasi memang
tidak bisa dipaksakan. Tapi yang sering kali membuat saya sakit hati trus gigit
jari adalah ketika terjadi sesuatu terhadap ‘anggota’ maka FLP yang diminta
pertangungjawabannya.
“Kok anak FLP nulisnya gitu, sich?”
Akan naïf sekali kalau saya jawab,
“Maaf ya si X itu bukan anggota aktif di FLP.”
Kalau sudah begitu, saya akan membuka file-file foto kegiatan FLP
di laptop sambil membayangkan semua yang telah saya lalui bersama FLP. “Sabar
ya, Non!”
Dan…, niat untuk dakwah akhirnya
jadi pamungkas manis-asem-asim kebersamaan di FLP. Beberapa anggapa nyir-nyir
sempat melemahkan semangat. “Dakwah lewat seni, lewat sastra? Tidak ada
manhajnya. Lebih banyak mudhoratnya.
Mana hasil dakwah kalian?” dan sejumlah pertanyaan yang terang maupun samar
ditujukan. Anggap saja sebagai ujian dakwah. Terkadang saya harus menjadi tuli,
agar tak menjadi redup.
Berjama’ah itu memang melelahkan. Tapi hanya dengan berjama’ah kaki ini masih kuat melangkah. Bukan karena saya alumni fakultas
Dakwah, namun semoga ini kesadaran pribadi bahwa setiap orang wajib menyerukan
kebaikan ummat dengan terus perbaikan diri. Menulis diantara jalannya dan FLP
yang saya pilih sebagai sarananya.
Ada waktu, rumah ini begitu lengang,
hingga seolah hanya sendiri berjibaku. Terkadang juga menjadi riuh, hingga
bagai teramat banyak yang membantu. Apapun kondisinya, bukan masalah untuk
tekad yang sudah dipatrikan.
Dalam tawa dan air mata sepanjang
duabelas tahun, FLP adalah bab tersendiri dalam buku perjalanan hidup saya. Akan
terus mencatat jejak langkah saya bersama teman-teman di ruang dakwah ini.
“Oh… anak FLP.”
“Emang iya. Kenapa, masalah buat elo?”
Tidaklah, saya tidak akan jawab
seperti itu. Saya hanya akan tersenyum dan bilang dalam hati, “let’s we go,
FLP!”
***
Masya Allah ternyata pernah ketemu dong saat bedah buku di Ponpres RU hehe
BalasHapus