Salah satu
hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tentang
Data Statistik Pengguna Internet Indonesia tahun 2016 menyatakan sebanyak 2,2
juta atau 16,6 % pengguna internet di Indonesia adalah ibu rumah tangga dari
132,7 juta user. Hanya berada satu tingkat dibawah jumlah
pengguna internet yang berprofesi sebagai wiraswasta dengan jumlah 62 % atau
82,2 juta.
Wajar jika dunia maya menjadi pasar potensial bagi berkembangnya bisnis online.
Dari pada smartphonenya dipakai hanya untuk unggah foto selfie mending
dipakai untuk dapat tambahan uang bulanan. Demikian kira-kira logika yang
banyak disebarkan untuk mengajak para ibu ikutan berbisnis dengan menggunakan
fasilitas kecanggihan tehnologi informasi.
Tentu saja hal
tersebut menjadi lebih baik dari pada sekedar menggunakan handphone dengan
jaringan internet untuk mengikuti nafsu berselfie ria. Tidak kalah dengan para
ABG, ibu-ibu juga terkadang mengidap kecanduan selfie cukup memprihatinkan.
Kebiasaan selfie dianggap sebagai adalah salah satu cara (atau satu-satunya
cara) untuk menjaga kewarasan mengurusi rumah tangga dengan setumpuk
permasalahannya. Masak ini, cekrek. Jalan-jalan, cekrek. Punya anak, cekrek.
Beli terasi, cekrek. Hingga nyaris tidak ada bagian hidupnya luput dari bidikan
kamera yang kemudian diunggah. Dengan berbisnis online hasrat mengunggah foto
(mungkin) bisa tersalurkan secara baik dan benar.
Namun, tentu
ada juga para ibu yang memang memilih menekuni berjualan di pasar maya karena
sejak semula berniat membuka usaha. Dengan berbagai pertimbangan, mereka mulai
secara serius mempelajari sistem yang memungkinkannya membangun bisnis berbasis
online. Atau menjadikan fitur-fitur media sosial sebagai tempat promosi barang dan
jasanya.
Dengan beragam
latar belakang kondisi tersebut, muncullah trend ibu-ibu pemilik toko online
baik yang memiliki web sendiri maupun ikut menggelar dagangan di pasar online (market
place) yang sudah ada. Terbukti dari data bahwa web onlineshop
meraup keuntungan berlimpah dari sekitar 82,2 juta pengunjung atau 62 %
pengguna internet di Indonesia. Atau bisnis personal yang memiliki ruang di
pasar online sebanyak 34,2 % atau 45,3 juta pengguna.
Kendati demikian, bukan berarti kemudahan tehnologi sejalan dengan kemudahan bisnis online. Apapun bentuknya, menjalani bisnis harus dengan tujuan yang jelas bukan sekedar latah, ikut kekinian. Karena berbisnis tetap saja memiliki sejumlah tantangan yang harus diatasi dengan ilmu dan belajar dari pengalaman.
Sekedar contoh
sederhana bahwa materi tentang internet marketing minimal harus dimiliki bagi
yang memutuskan berbisnis online. Jika dikatakan bahwa bisnis harus berani menanggung
resiko dan tidak takut gagal bukan berarti pelaku bisnis boleh terjun bebas.
Belum lagi pembelajaran tentang mental dan sikap seorang pedagang. Sulit memberi kesan positif jika suatu ketika promosi produk di akun media sosial, lain hari membuat status percekcokan dengan pasangannya.
Learning by
doing. Sembari memulai berjualan sembari
memulai belajar berdagang sesuai aturan tentu saja sangat bisa. Aturan bukan
hanya aturan secara ilmu ekonomi tetapi juga ilmu agama tentang bagaimana
bermuamalah yang berkah. Bahkan beberapa
displin ilmu pun mesti mulai dibaca-baca guna menunjang kelangsungan usaha. Bergabung
dengan komunitas menjadi salah satu sarana meningkatkan kapasitas diri selain
juga membangun jaringan. Bisnis online bukan sekedar mengunggah
foto-foto jualan lalu menulis kata, 'ready.' Bahkan konsumen pun harus mendapatkan edukasi dari
produk atau jasa yang ditawarkan.
Learning by doing, Suka t benar" orang yang ingin sukses dan berusaha terus. Kunbal moga jadi bewe setia
BalasHapus😊
HapusTerima kasih ya