Setelah
berkali-kali dipesankan oleh para Ustadz, akhirnya saya insyaf. Tidak ada lagi
istilah kejar setoran saat berbuka puasa. Mungkin, ini termasuk berkah tambahan
setelah menikah. Ya iyalah, saya kan malu sama suami plus keluarga mertua.
Cantik-cantik rakus (piss). Maklum saya nikah sekitar 2 minggu sebelum
Ramadhan, lima tahun lalu. Jadi saat Ramadhan perdana berstatus istri, saya
masih jaim sejaim-jaimnya.
Secangkir
teh hangat, dua iris buah atau kurma dan satu jenis cemilan seadanya. Ingat,
seadanya. Karena yang tidak ada tentu tidak bisa dimakan. Dan menu demikian
berlangsung hingga tahun ini.
"Kita
berbuka apa?" Tanya suami saat akan berangkat kerja. Puasa baru sekitar 3
jam tapi sudah berpikir tentang berbuka, suami visioner. "Pempek?"
Tawarnya.
"Enggak
ah."
"Model?"
"Tekwan."
Negosiasi selesai.
Maaf
ya bukan tidak hobi masak. Tapi hari ini saya masih masa percobaan puasa.
Dan
ujian itupun datang. Menyapu, menemani anak-anak sarapan, hingga mencuci
pakaian saya lakukan dengan rasa pusing. Kian lama kian menghebat. Hingga
sakit kepala yang tak terkatakan. Sekuat tenaga saya menghalau, namun sia-sia.
Mencoba
menenangkan diri. Saya pun duduk di kursi sambil menelungkupkan wajah ke meja. Lamat-lamat
meminta, "Ya Allah, berilah aku kemampuan. Aku berniat puasa hingga magrib
nanti. Aku tahu ada keringanan yang Kau berikan. Namun, Ramadhan tanpa puasa, ah
betapa hampanya." Air mata berlomba berjatuhan. Baru sekitar jam sepuluh,
setengah haripun belum sampai. “Tiada kekuatan melainkan milik Allah.”
"Nda,
temenin adek main di luar," rengek si bocil seraya menarik tangan saya.
Kakaknya sudah asyik bermain pasir di halaman.
Sesekali
saya pejamkan mata, berharap bisa mengurangi rasa sakit. Namun hasilnya nihil.
"Dek, Bunda nemeninnya dari dalam saja ya. Bunda mau istirahat, kepala Bunda
pusing."
"He...eh."
Pintu belakang dibuka dan saya tiduran dekat pintu agar tetap bisa mengawasi
anak-anak.
Karena
rasa sakit yang tak kunjung berkurang, saya mulai terpikir untuk membatalkan
puasa. Handphone sudah digenggaman. Berniat menelpon suami guna izin berbuka
puasa. Namun suara hati tak rela. Hp tergeletak begitu saja.
Suara
tilawah terdengar dari masjid. Tak berapa lama lagi masuk waktu sholat dzuhur.
Anak-anak saya panggil masuk untuk tidur siang. Usai sholat, sayapun menyusul
merebahkan diri di kamar.
Jika
biasanya ada sesi membacakan buku atau bercerita tapi kali ini tidak ada. Saya
langsung memejamkan mata tanpa memperdulikan mereka yang masih bermain di
tempat tidur. Sesekali tertidur. Sesekali memantau anak-anak. Sesekali berusaha
memejamkan mata. Meski tetap saja belum ada perubahan rasa sakit di kepala.
Mungkin
sudah ashar atau bahkan hampir magrib. Perlahan saya bangun. Mencari hp untuk
melihat jam. Dan saya pun menghela nafas panjang, baru pukul 2 siang. Tersisa
pusing yang alhamdulillah masih memungkinkan saya untuk beraktifitas. Meski
perut mulai terasa lapar. "Orang puasa memang lapar, biasa kok," saya
harus menyemangati diri. Setidaknya tinggal menunggu setengah hari lagi.
Mencuci
piring dan dilanjutkan memandikan anak-anak dilakukan dengan lebih santai
dibanding kondisi tadi pagi. Hanya lemas hingga semua aktifitas dilakukan
dengan slowmention.
"Ah
salah tempat beli tekwan," tiba-tiba suara suami dari balik pintu.
"Salah?"
"Iya.
Terbeli tempat yang mahal. Sepuluh ribu sebungkus." Kami pelanggan jajanan
di warung pinggir jalan. Hanya kondisi darurat saja jajan di cafe atau mall.
Niatnya
hanya minum, cemilan dan buah. Realitanya dianterin mertua aneka buah. Ada pisang,
jambu dan dogan. Hasil memetik di kebun. Pesan sponsor, bagi yang jomblo.
Jangan hanya mencari pasangan yang baik. Tapi juga carilah mertua yang pemurah
dan perhatian, gitu!
Makanan
sudah terhidang. Adzan sudah
berkumandang. Do’a-do’a sudah dilantunkan. Berbuka puasa mesti disegerakan.
"Kalau
rasanya, lumayan. Sebanding dengan harga," komentar saya setelah memakan
dua sendok tekwan.
"Katanya
dari ikan gabus, jadi mahal," jawab suami.
Saya
tidak terlalu menghitung jumlah pentol tekwan. Delapan atau sepuluh pentol
mungkin. “Nah bunda sudah kenyang," ujar saya terhenti manakala ada alarm
dari dalam perut, "cukup!"
Ada
tiga pentol tersisa di mangkok. Sebelumnya tak memakan apapun selain dua hirup
teh hangat. Untuk porsi normal saya, sepiring tekwan berlalu begitu saja. Bahkan
kalau buat sendiri bisa dipastikan saya akan nambah lagi. Tekwan kakak sudah tandas, menyisakan sedikit
kuah dan bihunnya saja. Dua potong model adek yang lapor tidak habis telah
diangkut ke piring ayahnya.
"Ih
sayang. Mubazir kalau nggak dihabisin," pikir saya sambil mengunyah
perlahan pentolan tekwan. "Enak, lembut dan terasa ikannya," dalam
hati saya menikmati menu berbuka.
"Hayo
Nda, sholat," pak bos sudah kasi komando.
"Yap
bentar. Beresin ini dulu." Anak di rumah ini kteatif semua. Tumpukan
piring dan gelas kotorpun bisa jadi mainan.

Sholat
magrib aman. Sembari menanti berangkat ke masjid, saya menjumpai tumpukan
jemuran yang menunggu dilipat. Anak-anak sudah heboh mengganti baju.
"Kalau ke masjid harus pakai celana panjang," kata ayahnya yang
nyuruh si adek ganti kostum.
"Mau
ke masjid aja serunya kayak mu diajak keliling dunia," batin saya.
"Tapi ya alhamdulillah. Itu artinya masjid jadi tempat terindah buat
bocil. Semoga mereka tumbuh jadi pemuda yang hatinya terpaut di masjid. Menjadi
ahli ibadah. Menjadi ulama yang siap berjuang di jalan Allah. Seperti namanya.
Mush'ab sang duta dakwah di Madinah serta Al-Ghazi kesatria pembela kejayaan
Islam."
"Bunda.
Kami sudah siap," celoteh kakak.
Saya
hanya mengangguk. Tak beranjak. Dua menit giliran ayahnya yang memanggil.
"Sudah tinggalin dulu pakaiannya. Bentar lagi mau isya'."
"Perutku
masih belum nyaman."
Meski
dengan berat, saya menyeret langkah ke belakang. Dan... hoek, hoek. Beberapa
detik kemudian telah penuh lubang kloset. Saya mengatur nafas, sudah lebih
lega. Dua langkah keluar WC, panggilan alam itu hadir kembali. Hoek... kini
yang keluar cacahan dogan. Sambil menyender di dinding, saya pejamkan mata
menyamankan kondisi.
"Oke
selesai," ujar saya dalam hati.
Tiba
di masjid, duo bocil langsung menuju barisan belakang. Shaf jama’ah anak-anak.
Seusai
sholat tarawih yang kesekian rakaat, saya kepikiran adegan di WC tadi. Demi mendengar
imam sholat membaca surat At Takaatsur. "Alhaakumuttakaatsur. Hattaa
zurtumul maqoobir. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, hingga kamu
masuk ke dalam kubur.”
Bermegah-megah
adalah juga mencakup makna berlebih-lebihan. Meski dalam konteks ayat tersebut
menjelaskan tentang kebanggaaan akan harta. Namun, saya merasa ikut ditegur
keras. Meski hanya perihal tiga pentol tekwan dan seperempat cangkir air dogan.
Bukankah
sudah ada alarm untuk berhenti makan. Namun nafsu tetap saja memburu. Alasannya
mubazir. "Allahu ghoffar... ampuni hambamu. Jika dengan secuil makanan itu
saja tidak sanggup menahan godaan, apatah lagi dengan gemerlap keindahan dunia.
Allahu
aliy... sungguh kerdil jiwa ini. Masih begitu tertatih merasai manisnya iman
laksana kecintaan para salafussalihin. Allah pemilik kerajaan langit dan
bumi... betapa semua yang Kau ciptakan hanyalah serpihan debu yang tiada
bermakna. Dan Kaulah sebaik-baik tempat berlindung."
Nyeesss...
ada yang merembes di hati. Perlahan saya mengelus perut. "Duhai Allah, jadikan
janin dalam kandunganku ini anak yang bersifat wara', jaga pandangannya dari
ketakjuban pada dunia. Sebab akhirat adalah kemuliaan sejati.Ya Robbi, jadikan ia
sosok dengan paras rupawan dan akhlak menawan. Meletakkan cinta tertinggi hanya
kepada Tuhannya. Aamiin."
Ah, semangkuk
tekwan jadi cerita Ramadhan saya di hari pertama.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
BalasHapusMbak Umi, terima kasih ceritanya. Dapat menjadi pengingat kita semua. 😊
Waalaikumsalam
HapusAlhamdulillah. Menulis untuk mencerahkan
Pelajaran memang ummi..
BalasHapusSaya pengen nulis.. Nulis Yang bagus, Yang berkarakter,
Tapi belum bisa²..
Dari dulu Sudah bercita² bahkan sejak SD Sudan belajar menulis, tapi belum dapet tempat yg tepat.
Bisa dicoba dengan sering-sering latihan menulis. Insyaallah bisa.
Hapus