"Nanti
malam kita mau sholat tarawih gak?"
"Mauuu,"
jawab Kakak-adik sekeinginan. Diantara beda Ramadhan tahun ini adalah duo bocil
tersebut sudah bisa memperjuangkan keiginan mereka.
"Lho
kenapa kita gak tarawih?" Tanya Kakak ketika adzan isya bergema dan kami
masih di rumah.
"Hari
ini kita sholat di rumah saja. Ayah belum pulang. Kita tidak ada yang
mengantar."
"Kan
bisa jalan kaki ke masjidnya?"
Saya
belum menjawab karena apa yang ia ungkapkan benar. Hanya saja saya agak
khawatir membawa mereka berjalan kaki. Sebenarnya jarak antara masjid dan rumah
kami tidak terlalu jauh. Hanya berkelang beberapa rumah. Namun rute yang kami
tempuh adalah satu-satunya jalan akses di desa ini. Hingga meskipun di malam
hari, kendaraan cukup banyak melintas. Bahkan tak jarang truk-truk pengangkut
sawit atau mobil penjual ayam melaju dengan kecepatan lebih.
Demi keamanan, ditunda
dulu ke masjid. Saya pikir mungkin hanya malam ini tidak bisa ke masjid. "Insyaalllah
besok kita ke masjid lagi," pungkas saya.
Selain
anak-anak itu ada lagi alasan saya wajib ke masjid. Tadarus Qur'an. Sejak Ramadhan,
jadwal mengaji di rumah kami diubah.
Untuk anak-anak yang masih tahap Iqro' mengaji dimulai pukul 14.00 WIB hingga
sholat ashar berjamaah. Sementara untuk anak-anak yang sudah bisa membaca
Al-Qur'an dianjurkan ikut tadarus bersama sehari satu juz selepas sholat
tarawih.
"Nda,
yang Al-Qur'an ikut tadarus Qur'an. Kenapa yang Iqro tidak tadarus Iqro?"
Pertanyaan Mush'ab yang gagal membuat saya melanjutkan pekerjaan.
"Tadarus
Iqro?" saya mengulang kata-katanya. Ia mengangguk. Saya terbahak.
Malam-malam
selanjutnya ternyata kami memang harus terbiasa berjalan kaki ke masjid.
Ayahnya anak-anak lebih sering pulang hingga larut malam ketimbang pulang
sebelum magrib.
Melihat
saya sudah maju, duduk agak lebih kedepan, beberapa anak langsung mengekor.
Membentuk barisan dan siap membuka mushaf masing-masing. Jumlah mereka lebih
sedikit dari seharusnya. Empat orang laki-laki dan sekitar tujuh atau sembilan
orang perempun atau lebih sedikit dari itu. Kecuali satu orang masih SD, semuanya
siswa SMP. Abege, usia transisi. Masa anak-anak sudah berlalu namun digolongkan
remaja belum pas.
Jika
kebetulan suami ada, ialah yang mengawali tilawah satu halaman. Lalu
dilanjutkan secara bergiliran. Dalam semalam biasanya tiap orang dapat dua kali
kesempatan mengaji.
"Bunda,
kemana kemarin tidak sholat?" Seorang anak yang duduk di samping saya
bertanya. Mush'ab sudah selesai membaca do'a memulai tadarus. Microfon
diserahkan ke saya. Tidak ada orang lain selain kami. Seorang emak-emak dengan
duo bocil dan para abege tersebut. Jama'ah masjid yang kian hari kian menyusut
jumlahnya langsung bubar seusai imam membacakan do'a niat berpuasa.
Saya
menolehnya dan tersenyum. Pertanyaan yang bagi saya bermakna permohonan.
"Oh, ustadz belum pulang jadi tidak ada yang mengantar."
Begitulah
pada malam-malam selanjutnya kami tadarus. Sebagian besar masih terbata-bata
membaca Al-Qur'an hingga untuk menyelesaikan satu ayat butuh kesabaran. Istilah
orang, capek dengerinnya. Sekitar satu jam setengah atau lebih menuntaskan dua
puluh halaman Qur'an. Mungkin bagi yang
telah lancar tilawah hanya perlu waktu tiga puluh menit.
Tapi
inilah kesungguhan. Di saat teman-temannya asyik menonton tv di rumah, mereka
memilih ke masjid. Ketika sebagian orang masih nyaman menikmati aneka hidangan berbuka
puasa. Mereka telah rapi di shaf sholat sebelum adzan isya berkumandang. Manakala
yang lain mungkin sudah pulas dengan bantal guling. Mereka melafadz huruf
perhuruf kalam suci.
Bahkan
di saat orang tua mereka tidak sekalipun sholat tarawih di masjid. Mereka tak
mempersoalkan. Ya, ada beberapa anak yang saya tak sekalipun melihat ayah atau
ibunya hadir di masjid. Padahal hanya butuh beberapa langkah tiba di pintu
masjid. Tak ada kejemuan atau keletihan. Mereka akan pulang dengan gelak tawa
dan saling bercanda sepanjang jalan pulang. Saat banyak pintu rumah sudah
tertutup. Dan sesekali jalan gelap karena keterbatasan lampu jalan. Ah, kalian memang abege luar biasa.
"Do,
tolong cek kipas sudah dimatikan semua?"
"Sudah."
"Lampu
yang di mihrob juga dimatikan."
Saya
menyapu pandangan ke setiap jengkal masjid. Memastikan semua jendela tertutup.
Lampu, kipas angin dan microfon telah dimatikan. Ambal sudah dilipat. Dan
terakhir pintu masjid dan pintu gerbang terkunci dengan aman. Barulah melangkah
kembali ke rumah. Inilah kami, para penghuni terkahir masjid ini.
"Kakak-adek,
tidak usah lari-lari," saya harus sedikit teriak memperingatkan duo bocil.
Mereka mau jalan sendiri sembari bermain dengan para kakak-ayuknya.
Atau
teriakan saya lainnya, "hayo minggir. Ada motor!" Namun begitulah anak-anak, usai diteriakin
tetap lanjut aktifitasnya. Selalu ada derai tawa usai dari masjid.
Ya
Allah, persaksikanlah kami di malam-malam muliaMu.
Betapa
anak-anak ini tulus mencintai Al-Qur'an. Untaian cinta dariMu yang kerap mereka
baca. Lisan mereka tak kelu mengeja tiap kata. Dengan Rahman dan RahimMu,
izinkanlah mereka menjadi penjaga kalam suci. Menjadi panghafal Qur'an. Meletakkan
Al-Qur'an di hati dan pikiran, laku dan perbuatan. Jadikan Al-Qur'an sebagai
sahabat, pemberi syafaat, perantara nikmat, muara bertaubat, perisai maksiat
hingga akhir hayat.
Wahai
Dzat sebaik-baik penjaga, kutitipkan anak-anak ini pada penjagaanMu. Cukuplah
kerisauan jiwa akan bermacam fitrah akhir zaman terobati dengan kedekatan
mereka pada Al-Qur'an. Inilah mereka, generasi Qur'ani yang telah tertawan
hatinya pada aturan Illahi. Tak usah galau. Sebab kalianlah yang kelak menjadi
penjaga kejayaan agama ini.
Duhai
Robbi, jikalau kelak Kau izinkan diri ini menempati syurgaMu, izinkalah pula
kami berkumpul kembali. Di lingkaran orang-orang yang dimulaikan dengan
Al-Qur'an. Maka, sungguh kami meminta padaMu tetapkan hati ini dalam ma'rifat.
Penuhi dada kami dengan berlapis-lapis cahaya Qur'an.
“Allahummarhamnaa
bil Qur'an...
Waj’alhulanaa
imamaa wa nurrow wa hudaw wa rohmah....” Munajad yang selalu terngiang di siang
dan malam kami.
0 komentar:
Posting Komentar