Alarm dihidupkan sekitar satu jam sebelum waktu subuh tiba.
Kebiasaan saya, setelah sahur lanjut sholat subuh. Nah mumpung anak-anak masih
tidur, saya ber-me time dengan aktifitas membaca dan menulis.
Namun beberapa menit lalu kabar itu sampai. Nyai (ibu dari ibu
mertua saya) meninggal di pertengahan malam tadi. Innalillahi.... Hasrat saya,
beliau husnul khotimah di bulan penuh ampunan.
"Anak-anak bangunkan. Beres-beres. Kita ke rumah Nyai."
Komando suami. Untuk sementara yang mendesak dilakukan mencuci piring. Rumah belum
terlalu kotor karena semalam disapu jadi tugas menyapu belum penting. Butuh
waktu lebih untuk membangunkan kakak.
"Kak, kita mau ke rumah Buyut. Buyut meninggal."
"Meninggal itu apa, Nda?"
"Meninggal itu mati. Tidak bisa bergerak lagi. Tidak bisa
ngomong lagi. Tidak bisa apa-apa." Saya berhenti sejenak. Memberi kesempatan padanya memahami
penjelasan tersebut. "Orang yang sudah meninggal akan dikubur. Kita kan
sering lewat kuburan." Ia mengangguk. Berbeda dari biasanya, kini ia tidak melanjutkan
pertanyaan.
Tenda sudah didirikan. Kursi berjejer, sebagian telan diisi para
bapak yang ta'ziah karena tidak tertampung lagi di dalam rumah. Cukup sulit
bagi saya mencapai tempat Nyai dibaringkan. Para ibu bersimpuh memenuhi ruang
tengah hingga ke pintu belakang rumah. Saya mafhum. Selain karena beliau
termasuk sesepuh desa juga karena sifat dermawannya.
"Ayo Kak, duduk dekat Buyut. Kita bacakan Yaasin," suara
lemah ibu mertua yang sedari subuh bergeming menjaga jenazah Nyai. Si kakak dan adek segera duduk sila. Ini pengalaman pertama mereka
menyaksikan akhir kehidupan manusia.
"Saya kapan?" Pertanyaan itu menyeruak begitu saja. Saya
meraba dalam jiwa. Melihat ke dalam diri. Apakah saya sudah siap jika panggilan
malaikat Izrail tiba? Mungkin tidak ada orang yang merasa benar-benar siap
dengan kematiannya. Sebab kebaikan yang dilakukan (yang sejatinya tak
seberapa) bukanlah jaminan akan selamat dari siksa akhirat.
Apakah perjalanan menuju negeri akhirat sungguh menakutkan? Hanya
ada pilihan, nikmat atau azab kubur? Dan itu belum berakhir. Hanya menanti saat
perhitungan sesungguhnya, yaumul hisab.
Tergantung amal yang diperbuat. Itu mungkin saja. Namun yang pasti
bagaimana Sang Pemilik Keabadian menilai saya. Amal kebaikan dengan berbagai
rupanya hanyalah lantaran mengundang keridhaan Allah. Berharap dengan ketaatan
yang semata karenaNya, ada kasih sayang tercurah. Dan dimanakah tempat para
kekasihNya jikalau bukan di sebaik-baik tempat.
Keburukan, kejahatan dan semua ketidaksesuaian dengan fitrah
kemanusiaan sesungguhnya adalah jalan mengundang kemurkaan. Oleh karenanya,
berupayalah maksimal untuk menjauh. Tidak akan ada kebahagiaan bagi jiwa yang
mendapat kebencian Tuhan.
Oh ya, andai saja setiap akan bertindak selalu meminta petuah hati
tentu bukanlah kesesatan yang didapat. Hati manusia senantiasa bersih sampai ia
sendiri membiarkannya tercemari oleh tumpukan dosa.
Bahu saya berguncang. Terisak dalam pilu mendalam. Ini bukan
kesedihan akan ia yang telah berpulang. Tapi pengingat akan perhitungan diri.
"Saya kapan?" Lagi-lagi itu yang bergentayang. Kian menghantam, menghujam dalam.
Tak perlu bertanya siap atau tidak manakala perjanjian maut telah tiba. Ketika
ditanya, "apakah saya mau usia yang panjang? Berapa? Delapan puluh,
sembilan puluh atau seratus tahun?" Saya ragu untuk menjawabnya. Hitungan
waktu bukanlah penentu.
"Bukankah kau ingin mendapingi anak-anakmu tumbuh dan dewasa.
Melihat mereka membangun rumah tangga. Menikmati hari tua bersama kehangatan
keluarga, mungkin dengan bercanda mendengar celoteh cucu. Mungkin merawat bunga
bersama suami tercinta. Mungkin mencoba aneka resep kue yang dulu belum sempat dibuat.
Dan mungkin-mungkin lainnya," rayu hati saya.
"Benar juga," sahut sudut hati yang lain.
"Tidak!"
"Itu impian setiap orang. Dan bukankah garis hidup adalah
rahasia tak satupun dapat meramalnya. Tidak. Kau tidak boleh berangan. Cukup
berdoa saja untuk apapun keridhoan Tuhan?"
"Termasuk jika dalam waktu tidak lama lagi aku
meninggal?" Sergah saya.
"Ya. Bahwa kelahiran, pernikahan, rezki dan juga kematianmu
sudah tertulis. Tidak dapat diganti atau diperbaiki. Jelas dan tidak butuh
pertanyaan lagi." Saya menyerah. Lelah dalam resah. Hanya aliran air mata yang terus
berlinang. Menggenang.
Pembacaan surat Yaasin sudah hampir usai. Saya biarkan saja
anak-anak menatap bingung. Tak bisa menutupi kalau saya sedang
berkeping-keping. Luluh lantak dan menyerpih. Kullunafsiin zaaiqotul maut.
Setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Manakala para tetangga yang dengan sukarela menggali kubur telah
selesai, semua baru akan dimulai. Anak dan menantu perempuan Nyai berjajar
memangku jenazah untuk dimandikan. Aroma rempah-rempah menguar ke seluruh
penjuru rumah. Kafan telah dibentangkan. Iringan tahlil menghantar tubuh kaku
itu menutup dunianya.
Keranda telah diangkat oleh para cucu dan siap disholatkan. Untuk
terakhir kalinya tubuh yang sebentar lagi membusuk masuk ke masjid. Tempat yang
dulu senantiasa diakrabi Nyai sampai sakitnya tak lagi membuatnya sanggup
menjumpai. Di siang ini, semoga lantai masjid mau bersaksi atas ruku dan sujud
yang telah ia perbuat.
Saya ikut berbaris di shaf perempuan. Di usia sekarang hanya
hitungan jari saya mengikuti sholat jenazah. Esok, entah saya bisa ikut sholat
jenazah lagi atau saya telah menjadi jenazah. Wallahua'lam.
"Adek, Kakak, Buyut mau dikubur. Kita mau ikut gak ke
kuburannya?" Tanya saya.
"Mau."
"Adek ikut Bunda."
Dan rombongan pun berarak dalam senyap. Letaknya persis di belakang
rumah. Perkuburan keluarga. Ada tiga kuburan sebelumnya. Jenazah Nyai
bersebelahan dengan Yai. Cinta mereka menyatu kembali. Sehidup dan
semati. Tak seperti dulu di ranjang pengantin nan harum. Kini di dinginnya
tanah berbalut kafan.
Anak dan menantu lelaki berjajar duduk di tepi kubur. Merapal do'a
yang diaamiinkan semua. Usai sudah kewajiban sesama muslim. Tinggallah malaikat
yang mengurus nasib jenazah selanjutnya. Saya dan suami berjalan menuntun
anak-anak. Dan tiada yang tau hingga kapan jemari kami masih dapat bertaut
hingga datang maut.
Wahai Pemilik Langit dan Bumi, kami tahu hidup dan mati telah
terpatri dalam suratan diri.Namun terkadang lebih banyak terlalai hingga lupa dan abai. Mohon tetapkan hati ini dalam keyakinan Islam. Meski terjatuh dan kembali berdosa, kuasa kembali melangkah. Meniti mihrob dalam kepasrahan hamba. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar