Harus di Hari Pertama
Berbeda dengan film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) yang sejak
beberapa minggu sebelum tayang perdana sudah ada jadwalnya di bioskop Palembang.
Film Duka Sedalam Cinta (DSC) –sekuel KMGP-- hingga seminggu sebelum tayang
belum ada kepastian jadwal.
Saat saya menghubungi Nurhidayati, ketua FLP Sumsel, menanyakan
agenda nobar, “masih dinego, mbak. Semoga tetap bisa nobar di hari pertama,”
jawabnya. Dan H-2 tayang perdana, poster nobar DSC di Palembang akhirnya
tersebar di media sosial. Alhamdulillah. Berdo’a agar kondisi anak-anak
sehat serta fisik saya memungkinkan ikut nobar. Di usia kehamilan 7 bulan, saya jadi lebih sering merasa kelelahan dan
sakit pinggang.
![]() |
Nobar DSC hari pertama tayang bersama FLP Palembang & KOFPI |
Perjalanan kami ditempuh dengan naik motor sekitar 60 menit dengan jarak 23 km menuju bioskop. Maklumlah, rumah kami terletak di desa
kabupaten yang berada di pinggiran kota Palembang.
“Empat tiket kan, mbak?” tanya koordinator nobar sembari memberikan
tiket begitu melihat saya tiba. Masih dengan nafas terengah-engah karena harus
naik eskalator hingga ke lantai 5 PI saya jawab, “iya, sekeluarga.”
Mas Gagah, kami datang!
Terpesona hingga Melelehkan Air Mata
Saya paling pantang ngobrol saat nonton. Satu detik saja tidak ingin
melewatkan tiap adegan. Tapi ya resiko mengajak dua balita, ada saja alasan
agar saya memberi perhatian sejenak pada mereka. “Nah Kak, mas Gagahnya naik
speedboat. Wah lautnya bagus kan?!” diantara penjelasan saya pada bocil.
Kebiasaan nonton film edukatif di rumah disertai penjelasan.
Tapi, pada beberapa kesempatan justru saya yang sengaja memalingkan
muka ke arah bocil. Alasannya, malu
ketahuan suami yang duduk di sebelah kalau sampai ketahuan menangis. Ketika air
mata saya siap meluncur, saya langsung menoleh ke anak. Menghapus air mata
secepatnya sebelum sekedar mengelus kepala si kakak. Ha.. ha... dasar
perempuan!
Bagaimanapun, ikatan persaudaraan dek manis Gita dan mas Gagah
selalu membuat hati saya bergetar. Sebuah contoh tanggung jawab luar biasa
saudara laki-laki pada saudara perempuannya. Sebagaimana ajaran Islam tentang
hak anak perempuan terhadap muhrimnya. Dialog keduanya sukses membuat mata saya
berkaca-kaca.
“Mas janji, Mas gak akan ninggalin kamu. Mas akan selalu dekat di
hatimu." Huaaah... kalau nonton sendirian dijamin ngabisin tissue sekotak.
Ironinya kondisi saat ini justru menunjukkan sebaliknya. Hubungan
saudara tidaklah mesra sebagaimana hubungan keluarga jauh dari harmonis. Paling
menyedihkan adalah ketika saudara laki-laki dengan teganya melakukan kekerasan
fisik bahkan seksual pada saudara perempuannya, nauzubillah! Meski ini
hanya kasus namun nyatanya terjadi di sekitar kita.
Oh iya selain sederet pemain yang sudah tampil di KMGP, ada dua
tokoh baru di DSC yang membuat saya khususnya suami penasaran. Ustadz Salim A
Fillah dan novelis Asma Nadia. Jadi saat mbak Asma tampil, suami nanya
“kakaknya atau adiknya?” Maksudnya mbak Helvy atau mbak Asma. “Mirip ya,” jawab
saya singkat.
Untuk latar tempat, DSC mampu menampilkan keindahan alam Indonesia.
View dari atas laut menggunakan drone sungguh memanjakan mata. Seluas mata
memandang, kejernihan air laut Halmahera membentang. Belum lagi saat siluet
matahari memayungi bumi atau bulat rembulan menghias malam, keren banget!
Saya pikir inilah bagian dari promosi wisata yang dilakukan film
karya KMGP Picture dan Studio Samuan. Tak hanya keindahan alam, keunikan
kehidupan masyarakatnya pun melahirkan magnet tersendiri untuk menjelajah
pulau-pulau di Indonesia. Termasuk pulau tak berpenghuni yakni pulau Widi,
Halmahera Selatan, Maluku Utara. Wah, jadi makin cinta dengan negeri ini.
Endingnya, ini bagian paling dinanti. Sebab di edisi novel tidak
terungkap. Film dengan judul terinspirasi kisah Nabi Ibrahim ini benar-benar
duka sedalam cinta. Duka itu senantiasa
ada namun benih cinta akan selalu merekah. Penutup kisah yang tidak terpikirkan
dan mengharu biru. Penasaran? Yuk buruan
nonton.
Pesan itupun sampai ke Anak-anak
Ternyata saya bukan satu-satunya bumil yang juga rempong bawa dua bocil saat nobar. Tidak
sedikit ibu yang juga menggendong bayi atau menuntun balita. Atau beberapa ibu
nobar dengan mengajak anak-anak sepulang sekolah. Karena ini film keluarga jadi aman ditonton
semua usia.
Saat saya asyik mengetik review ini, dua balita sedang sibuk
menggambar. Kertas digambar beraneka warna. Hingga tangan mereka pun penuh
coretan. Lalu kertas disobek-sobek dan
berhamburan memenuhi lantai.
“Ayo berenang,” ujar ayahnya. Merekapun bergaya layaknya perenang
seraya tangan mereka sibuk memunguti kertas.
![]() |
Cemilan sembari ngetik review DSC |
Suami melirik saya, “Bunda, ingat gak mereka dapat ide itu dari
mana?”
“Dari nonton bioskop kemarin.” Pesan moral menjaga kelestarian lingkungan
sampai juga ke anak-anak meski dengan
versi berbeda. Saya tersenyum saat tangan-tangan kecil itu membuang sobekan
kertas ke tempat sampah.
Tak hanya satu, pesan kebaikan bertebaran di film DSC.
Ibarat menu makanan, ini paket lengkap dan sehat namun tetap renyah disantap. Terima
kasih kepada semua pihak yang sudah berjuang menghadirkan film menginspirasi,
utamanya sang bunda Helvy Tiana Rosa.
0 komentar:
Posting Komentar